Enam Langkah Nyata Menerapkan Self-Care Tanpa Harus Meninggalkan Pekerjaan
Ranticreabiz.id - Dalam ritme kerja yang semakin cepat dan penuh tekanan, self-care bukan lagi aktivitas tambahan yang bisa ditunda, melainkan kebutuhan mendesak agar kita tetap berfungsi secara optimal—secara fisik, emosional, dan mental. Banyak milenial yang merasa bahwa perawatan diri harus dilakukan di akhir pekan atau saat cuti panjang. Padahal, justru di tengah kesibukan harianlah self-care harus hadir.
Self-care bukan hanya soal spa dan staycation. Lebih dari itu, ia mencakup bagaimana kita berbicara pada diri sendiri, mengelola energi, serta menjaga kualitas hubungan dan lingkungan sekitar. Artikel ini mengajak kamu melihat bagaimana enam langkah sederhana bisa diintegrasikan ke dalam rutinitas kerja. Tak hanya praktis, tapi juga berdampak nyata.
1. Kurangi Mengkritik Diri Sendiri
Pernah merasa bahwa hasil kerja kamu kurang maksimal, padahal semua orang mengatakan sebaliknya? Saya pernah mengalaminya. Pada kuartal pertama tahun lalu, saya menjadi koordinator tim untuk peluncuran produk digital. Meskipun target tercapai dan klien puas, saya malah fokus pada satu presentasi yang kurang sempurna. Hari itu saya pulang dengan rasa kecewa berat, sampai akhirnya mentor saya bertanya, “Kalau ini dilakukan kolegamu, apa kamu akan menghukumnya seperti itu?”
Pertanyaan sederhana itu membuka mata. Saya mulai belajar mengganti self-talk negatif dengan empati diri. Saat rasa ragu muncul, saya kini bertanya: “Apa saya sedang lelah atau perfeksionis berlebihan?” atau “Apa saya akan bicara seperti ini jika yang melakukan adalah orang lain?” Ini membantu menciptakan ruang mental yang sehat untuk tumbuh, bukan menyalahkan.
2. Hargai Waktu, Uang, dan Energi sebagai Aset
Setiap hari kita menerima permintaan rapat mendadak, pekerjaan tambahan, hingga ajakan nongkrong yang kelihatannya ringan. Tapi semua itu, jika tak disaring, akan menyedot waktu dan energi yang harusnya dipakai untuk hal penting.
Saya mulai melakukan satu kebiasaan kecil: menuliskan tiga hal utama yang ingin saya capai hari itu, sebelum membuka email atau chat kerja. Daftar itu menjadi ‘kompas’ saya. Jika ada permintaan masuk, saya bertanya: “Apakah ini membantu saya menyelesaikan tiga hal ini?” Jika tidak, saya belajar berkata tidak dengan sopan.
Dengan cara ini, saya belajar bahwa self-care bukan berarti malas atau egois, tapi menghargai kapasitas diri sebagai aset terbatas yang harus dikelola bijak. Ingat, mengatakan “ya” ke semua orang bisa berarti “tidak” pada prioritas dan kesehatan sendiri.
3. Rayakan Pencapaian, Sekecil Apa pun Itu
Sebagian besar dari kita melupakan pencapaian karena otak kita terbiasa berlari ke target berikutnya. Tapi bagaimana kalau kita berhenti sejenak dan menoleh ke belakang?
Setiap akhir bulan, saya membuat ‘journal highlight’ di mana saya mencatat tiga momen kerja yang membuat saya bangga—baik itu berhasil memfasilitasi rapat sulit, menyelesaikan artikel yang viral, atau menerima pujian tulus dari kolega. Saya juga mendorong tim saya untuk membagikan hal serupa dalam evaluasi bulanan. Dari sana, saya menyadari betapa besar dampak positifnya terhadap motivasi tim dan kepercayaan diri individu.
Mencatat pencapaian bukan narsistik—itu adalah bentuk dokumentasi perjuangan. Kita sering lupa betapa banyak yang sudah kita selesaikan, hanya karena tidak mencatatnya.
4. Kelilingi Diri dengan Orang-Orang yang Membawa Energi Positif
Lingkungan sosial sangat menentukan kualitas self-care. Saya menyadari bahwa setiap kali berinteraksi dengan orang yang suka meremehkan atau negatif terus-menerus, saya pulang kerja dengan rasa letih yang aneh. Padahal, beban kerja hari itu biasa saja.
Sebaliknya, saat saya makan siang dengan rekan yang suportif dan penuh semangat, saya merasa jauh lebih ringan. Sejak itu, saya mulai membatasi waktu dengan orang-orang toksik dan lebih banyak menjalin relasi berkualitas, termasuk di luar kerja. Saya menjadwalkan waktu untuk bertemu sahabat sebulan sekali, menelepon orang tua tiap pekan, dan membalas pesan teman yang selama ini tertunda.
Hubungan sehat adalah investasi jangka panjang yang menopang mental kita dalam kondisi terberat sekalipun.
5. Perbarui Ruang Kerja
Ruang kerja bukan sekadar tempat meletakkan laptop. Ia adalah cerminan dari suasana batin kita. Ketika meja saya penuh kertas tak penting, kabel berserakan, dan dinding kosong tanpa warna, saya merasa stuck. Saya lalu menyisihkan satu pagi akhir pekan untuk merombak meja kerja: saya beli tanaman kecil, cetak foto liburan, dan memasang post-it berisi kutipan penyemangat.
Dampaknya? Jauh lebih besar dari yang saya duga. Saya jadi lebih betah, lebih cepat fokus, dan lebih sering merasa rileks saat duduk di meja. Bahkan, ide-ide kreatif muncul lebih cepat saat saya merasa "ruang ini milik saya."
Kamu tidak perlu punya ruang kerja mewah. Cukup tambahkan elemen kecil yang membuatmu merasa “di rumah”—entah itu lilin aromaterapi, playlist instrumental favorit, atau foto orang tersayang.
6. Jadwalkan Pemulihan, Bukan Menunggu Burnout
Di awal karier saya, saya percaya bahwa produktivitas berarti terus-menerus bekerja, bahkan di akhir pekan. Sampai akhirnya tubuh saya protes: sulit tidur, gampang tersinggung, dan sering sakit kepala. Itulah titik balik saya untuk memahami bahwa istirahat bukan hadiah, tapi hak dasar.
Saya mulai menjadwalkan hari “low-stimulation” setiap dua pekan—hari di mana saya tidak membuat rencana sosial atau tugas berat. Kadang saya tidur siang, jalan ke taman, atau sekadar membaca buku tanpa tujuan produktif. Di hari kerja, saya sisipkan istirahat mikro: berjalan selama 10 menit setelah meeting, makan siang tanpa layar, atau sekadar memejamkan mata selama lima menit.
Jangan tunggu burnout untuk mulai merawat diri. Buat jadwal pemulihan seperti kamu menjadwalkan meeting penting—karena tubuh dan pikiranmu adalah proyek jangka panjang.
Self-care adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri, bukan pelarian. Di tengah dunia kerja yang menuntut produktivitas tinggi, merawat diri menjadi fondasi agar kita bisa memberi kontribusi yang berkelanjutan, tanpa kehilangan jati diri.
Bila kamu ingin membaca versi alternatif yang lebih lifestyle-friendly dengan pendekatan kekinian, kamu bisa cek artikel Self-Care untuk Milenial: 6 Cara Memanjakan Diri di Tengah Kesibukan yang mengulas self-care dari sudut pandang keseharian anak muda masa kini.